SEJARAH
DESA NGADIPIRO
Desa Ngadipiro adalah
desa yang terletak di Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, yang bagian utara
berbatasan dengan Desa Wilangan, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sudimoroharjo.
Jumlah penduduk Desa
Ngadipiro sebanyak 21600 jiwa. Mayoritas mata pencaharian warga Desa Ngadipiro
bekerja sebagai petani karena
dipengaruhi kondisi fisik alam yang hanya cocok ditanami padi dan palawija.
Sebagian penuduknya bekerja sebagai guru, bidan, dan PNS.
Dinamakan Desa
Ngadipiro, karena diambil dari kata Ngadi
dengan arti mengabdi, sedangkan piro mempunyai
arti Berapa. Sehingga dua kata tersebut, (Ngadi
dan piro) dapat dirangkai menjadi
sebuah kata "Ngadipiro" yang mempunyai makna "Berapa Orang Yang
Masih Mengabdi?" Nama ini diambil dari peristiwa perang yang dulu pernah
terjadi, maksud dari nama tersebut adalah masih ada berapakah bala tentara yang
tersisa saat perang terjadi dan proses pembabatan desa, dalam ikut serta pengabdian di hutan belantara yang menjadi
Desa Ngadipiro.
Sejarah Desa Ngadipiro
berawal dari sebuah perang besar antara Kerajaan Mataram Islam dengan Belanda.
Perang tersebut terjadi ketika pasukan bala tentara Kerajaan Mataram Islam
melawan Belanda. Sebagian bala tentara Dari Kerajaan Mataram Isam bersembunyi
bersama tiga orang panutan mereka, yang terkenal kesaktiannya. Tiga orang
tersebut antaranya, dikenal dengan nama Begawan Sukmo Sejati atau Demang
Semirang yang nama lainnya Gunung Sejati, Syeh Wali Gede, dan Raden Yusuf
Sebrang atau Yusuf Sengkan.
Sebelum terbentuknya
nama Desa Ngadipiro, dahulunya desa ini sudah terdapat sebuah Dukuh Tunglur,
yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Desa Tunglur. Dahulunya di desa ini
terkenal pasar tradisionalnya yaitu Pasar Tunglur. Pasar Tunglur telah berjaya
dan ternama di masa itu walau kecil, tapi semua orang tahu hingga di berbagai
daerah. Kejayaan Pasar Tunglur disebabkan bahan-bahan pokok tersedia dan alami
dari hasil perkebunan petani di Pegunungan Wilis atau Gunung Wilis.
Ketiga orang sakti
tersebut bersama bala tentaranya, akhirnya sampailah di hutan dekat dengan Desa
Tunglur, dengan menempuh perjalanan berhari-hari bahkan berbulan-bulan dengan
menelusuri hutan yang lebat. Mereka
berhenti dari perjalanannya dan berencana untuk membabat hutan tersebut untuk
menghubugkan Desa Tunglur agar lebih luas.
Pembabatan hutan untuk
dijadikan sebuah desa atau perkampugan tidak mudah, karena banyak rintangan
yang harus mereka hadapi, misalnya gangguan binatang buas, dan makhluk gaib.
Tetapi mereka berhasil menghadapinya berkat kesaktiannya dari cara bertapa
brata maupun berpuasa. Perjuangan tak sia-sia, sebuah lahan baru dari hasil babatan mereka dapat terhubungkan dengan Desa
Tunglur dan wilayah Tunglur menjadi bertambah. Namun ada beberapa bala
tentaranya meninggal dunia tanpa sebab, oleh karena itu lahan tersebut di beri nama
Ngadipiro, dan nama Desa Tunglur diganti menjadi Desa Ngadipiro, serta sistem
pemerintahannya pun diganti.
Setiap tahun warga Desa
Ngadipiro menyelenggarakan acara upacara nyadran
atau bersih desa. Upacara
nyadran atau bersih desa merupakan suatu kegiatan rutin bersama yang
dilakukan di tempat tertentu, misalnya pada petilasan, makam, maupun punden untuk mendoakan leluhur, dengan membersihkan
tempat-tempat terebut dan puncak acaranya kenduri
atau selametan. Kebiasaan atau
tradisi warga setempat melaksanakan bersih desa dengan dua kali pelaksanaan
yang dilakukan pada pagi hari mempertunjukan wayang kulit, teledek di punden. Lalu,
pada malam hari ada acara pertunjukan Wayang Kulit di rumah kepala desa. Untuk
menyelenggarakan acara tahunan tersebut, seluruh warga bergotong-royong untuk
mempersiapkannya.
Sebelum berdirinya Desa
Ngadipiro, Masyarakat Desa Tunglur
dahulunya menganut kepercayaan agama Hindu yang sangat kental. Setelah
terbentuknya desa baru tersebut, lahirlah agama Islam yang disebarkan dua saudara
kembar yang bernama Mbah Ali Idris dan Mbah Idris, serta Mbah Sutirah yang
merupakan istri dari Mbah Idris. Kedua saudara kembar tersebut merupakan orang
yang pertama kali telah menghafal Quran, sehingga mereka sedikit demi sedikit
menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat sekitar. Penyebaran agama Islam
didukung oleh ketiga tokoh sejarah pembabat Desa Ngadipiro.
Keunikan Desa Ngadipiro
adalah setiap perkara yang terjadi di desa ini pasti cepat terselesaikan dan
setiap kejahatan yang berbentuk apapun akan terungkap.
Mitos yang masih
diyakini warga Desa Ngadipiro adalah kakek berjenggot yang sering muncul pada
saat tertentu, misalnya pada bulan suro
kakek tersebut diyakini perwujudan dari Begawan Sukmo Sejati. Diyakininya
perwujudan dari Begawan Sukmo Sejati karena beliau menjaga wilayah Ngadipiro
yang terletak di persawahan atau di punden Desa Ngadipiro dan punden tersebut
sampai sekarang dijadikan tempat upacara nyadran. Mitos lainnya, apabila tidak
melaksanakan kegiatan Nyadran maka Danyang
atau penjaga Desa Ngadipiro akan marah yang dapat menyebabkan kematian,
kerusakan terhadap warga desa.