Senin, 15 Januari 2018

Sejarah Desa Ngadipiro



SEJARAH DESA NGADIPIRO

Desa Ngadipiro adalah desa yang terletak di Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, yang bagian utara berbatasan dengan Desa Wilangan, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sudimoroharjo.
Jumlah penduduk Desa Ngadipiro sebanyak 21600 jiwa. Mayoritas mata pencaharian warga Desa Ngadipiro bekerja sebagai petani  karena dipengaruhi kondisi fisik alam yang hanya cocok ditanami padi dan palawija. Sebagian penuduknya bekerja sebagai guru, bidan, dan PNS.
Dinamakan Desa Ngadipiro, karena diambil dari kata Ngadi dengan arti mengabdi, sedangkan piro mempunyai arti Berapa. Sehingga dua  kata tersebut,    (Ngadi dan piro) dapat dirangkai menjadi sebuah kata "Ngadipiro" yang mempunyai makna "Berapa Orang Yang Masih Mengabdi?" Nama ini diambil dari peristiwa perang yang dulu pernah terjadi, maksud dari nama tersebut adalah masih ada berapakah bala tentara yang tersisa saat perang terjadi dan proses pembabatan desa, dalam ikut serta pengabdian di hutan belantara yang menjadi Desa Ngadipiro.
Sejarah Desa Ngadipiro berawal dari sebuah perang besar antara Kerajaan Mataram Islam dengan Belanda. Perang tersebut terjadi ketika pasukan bala tentara Kerajaan Mataram Islam melawan Belanda. Sebagian bala tentara Dari Kerajaan Mataram Isam bersembunyi bersama tiga orang panutan mereka, yang terkenal kesaktiannya. Tiga orang tersebut antaranya, dikenal dengan nama Begawan Sukmo Sejati atau Demang Semirang yang nama lainnya Gunung Sejati, Syeh Wali Gede, dan Raden Yusuf Sebrang atau Yusuf Sengkan.
Sebelum terbentuknya nama Desa Ngadipiro, dahulunya desa ini sudah terdapat sebuah Dukuh Tunglur, yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Desa Tunglur. Dahulunya di desa ini terkenal pasar tradisionalnya yaitu Pasar Tunglur. Pasar Tunglur telah berjaya dan ternama di masa itu walau kecil, tapi semua orang tahu hingga di berbagai daerah. Kejayaan Pasar Tunglur disebabkan bahan-bahan pokok tersedia dan alami dari hasil perkebunan petani di Pegunungan Wilis atau Gunung Wilis.
Ketiga orang sakti tersebut bersama bala tentaranya, akhirnya sampailah di hutan dekat dengan Desa Tunglur, dengan menempuh perjalanan berhari-hari bahkan berbulan-bulan dengan menelusuri hutan  yang lebat. Mereka berhenti dari perjalanannya dan berencana untuk membabat hutan tersebut untuk menghubugkan Desa Tunglur agar lebih luas.
Pembabatan hutan untuk dijadikan sebuah desa atau perkampugan tidak mudah, karena banyak rintangan yang harus mereka hadapi, misalnya gangguan binatang buas, dan makhluk gaib. Tetapi mereka berhasil menghadapinya berkat kesaktiannya dari cara bertapa brata maupun berpuasa. Perjuangan tak sia-sia, sebuah lahan baru dari hasil babatan mereka dapat terhubungkan dengan Desa Tunglur dan wilayah Tunglur menjadi bertambah. Namun ada beberapa bala tentaranya meninggal dunia tanpa sebab, oleh karena itu lahan tersebut di beri nama Ngadipiro, dan nama Desa Tunglur diganti menjadi Desa Ngadipiro, serta sistem pemerintahannya pun diganti.
Setiap tahun warga Desa Ngadipiro menyelenggarakan acara upacara nyadran atau bersih desa.  Upacara nyadran atau bersih desa merupakan suatu kegiatan rutin bersama yang dilakukan di tempat tertentu, misalnya pada petilasan, makam, maupun punden untuk mendoakan leluhur, dengan membersihkan tempat-tempat terebut dan puncak acaranya kenduri atau selametan. Kebiasaan atau tradisi warga setempat melaksanakan bersih desa dengan dua kali pelaksanaan yang dilakukan pada pagi hari mempertunjukan wayang kulit, teledek di punden. Lalu, pada malam hari ada acara pertunjukan Wayang Kulit di rumah kepala desa. Untuk menyelenggarakan acara tahunan tersebut, seluruh warga bergotong-royong untuk mempersiapkannya.
Sebelum berdirinya Desa Ngadipiro,  Masyarakat Desa Tunglur dahulunya menganut kepercayaan agama Hindu yang sangat kental. Setelah terbentuknya desa baru tersebut, lahirlah agama Islam yang disebarkan dua saudara kembar yang bernama Mbah Ali Idris dan Mbah Idris, serta Mbah Sutirah yang merupakan istri dari Mbah Idris. Kedua saudara kembar tersebut merupakan orang yang pertama kali telah menghafal Quran, sehingga mereka sedikit demi sedikit menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat sekitar. Penyebaran agama Islam didukung oleh ketiga tokoh sejarah pembabat Desa Ngadipiro.
Keunikan Desa Ngadipiro adalah setiap perkara yang terjadi di desa ini pasti cepat terselesaikan dan setiap kejahatan yang berbentuk apapun akan terungkap.
Mitos yang masih diyakini warga Desa Ngadipiro adalah kakek berjenggot yang sering muncul pada saat tertentu, misalnya pada bulan suro kakek tersebut diyakini perwujudan dari Begawan Sukmo Sejati. Diyakininya perwujudan dari Begawan Sukmo Sejati karena beliau menjaga wilayah Ngadipiro yang terletak di persawahan atau di punden Desa Ngadipiro dan punden tersebut sampai sekarang dijadikan tempat upacara nyadran. Mitos lainnya, apabila tidak melaksanakan kegiatan Nyadran maka Danyang  atau penjaga Desa Ngadipiro akan marah yang dapat menyebabkan kematian, kerusakan terhadap warga desa.

1 komentar: